RUU Ketenagakerjaan Harus Mengakhiri ‘Perdagangan Orang’ Berkedok Outsourcing dan Kontrak Lisan!

Buruh Indonesia di ambang ketidakpastian hukum! Simak hasil Lokakarya YFAS 90 & FGSBM yang menuntut RUU Ketenagakerjaan baru, mendesak diakhirinya rezim outsourcing dan korupsi pengawas, serta menjamin upah layak.

ruu ketenagakerjaan
Foto bersama usai Lokakarya "Perlindungan dan Kesejahteraan Buruh/Pekerja" di Hotel Balairung, Jakarta, Selasa (28/10/2025).

Jakarta, IndonesiaVoice.com – Jeritan buruh nyaring menggema dalam Lokakarya Perlindungan dan Kesejahteraan Pekerja (Advokasi terhadap penyusunan dan pembahasan RUU Ketenagakerjaan) di Hotel Balairung, Jakarta, Selasa (28/10/2025).

Bukan lagi sekadar tuntutan kenaikan upah, melainkan peringatan akan keruntuhan total hukum ketenagakerjaan di Indonesia.

Di hadapan perwakilan 20 organisasi buruh, mulai dari KSPI, KSBSI hingga OPSI, yang berkumpul dalam lokakarya yang diselenggarakan YFAS 90 dan FGSBM, terkuak narasi pahit yakni pekerja kini terjebak dalam rezim ketidakpastian hukum dan ketidakadilan yang berkepanjangan.


Baca juga: Mengapa DPR Takut? Terbongkar Tiga Faksi Parlemen yang ‘Sandera’ RUU Perampasan Aset.

Krisis ini, dijelaskan oleh Direktur Pelaksana YFAS 90, Felix Silitonga, berawal dari dosa asal pembentukan UU Cipta Kerja yang cacat formil (Putusan MK No. 91/2020), menciptakan “perhimpitan norma” yang membingungkan.

Namun, akar kehancuran sejatinya jauh lebih dalam, bersembunyi dalam bayang-bayang rezim fleksibilitas tenaga kerja (Labour Market Flexibility/LMF)).

Peneliti AKATIGA, Pusat Analisis Sosial, Indrasari Tjandraningsih, menyebut rezim ini sebagai “kekuatan struktural” yang secara brutal didukung oleh modal global.


Baca juga: DPR DIBOHONGI? Jejak Janji Palsu TPL di Hadapan Wakil Rakyat dan Penderitaan Masyarakat Adat

Logikanya sederhana dan brutal yaitu makin banyak yang fleksibel, biaya tenaga kerja makin rendah. Biaya tenaga makin rendah, kemungkinan profit makin tinggi,” papar Indrasari.

LMF telah melahirkan anomali yang paling menyakitkan: “perjanjian lisan” di sektor formal. Mengambil celah dari UU 13/2003, kontrak kerja, terutama bagi pekerja muda, kini bisa hanya melalui lisan, tanpa dokumen resmi, tanpa kekuatan hukum.

Kalau perjanjiannya lisan Di sektor formal, sebagai pekerja enggak punya kekuatan hukum untuk menggugat,” tegas Indrasari.


Baca juga: Rakernas FORKONAS PP DOB 2025, Dr. JS Simatupang: “Pemekaran Bukan Politik, Tapi Pelayanan untuk Rakyat” 

Di tengah “perdagangan orang” berkedok outsourcing, buruh pun dipaksa memilih yakni “pekerja tetap versus tetap bekerja”, yang melumpuhkan semangat berserikat mereka.

Jika substansi hukum telah dirusak oleh fleksibilitas, maka penegakan hukum telah dikhianati oleh strukturnya sendiri.

Timboel Siregar, Pengamat Ketenagakerjaan yang juga Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), menyebut situasi ini sebagai tragedi di mana “Substansi [hukum] di atas kertas, struktur lemah dimanfaatkan modal.”


Baca juga: HUT TNI ke-80, Dr. John Palinggi: TNI Prima dan Rakyat Bersatu Demi Indonesia Maju

Ia menyoroti dua pilar kegagalan. Pertama, Imunitas Outsourcing. Meskipun Mahkamah Konstitusi telah memerintahkan pembatasan outsourcing (Putusan MK No. 168/2023), pemerintah sengaja berdiam diri, tidak merevisi PP 35/2021.

Sampai sekarang [PP 35] kan enggak [direvisi]? Kita sekarang 2025, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 sudah mau menjelang 3 tahun, pemerintah tidak tahu,” kritik Timboel, menunjukkan adanya kelalaian yang disengaja.

Kedua, keroposnya pengawas. Titik terlemah dalam hubungan industrial adalah Pengawas Ketenagakerjaan. Di tingkat provinsi, pengawas rentan diintervensi oleh politik lokal.


Baca juga: Dr John Palinggi: Melayani Rakyat Bukan Bergaya Raja, Tantangan Menteri Dibawah Kepemimpinan Prabowo

Gubernur, kata Timboel, bisa memutasi pengawas yang tegas ke jabatan non-esensial, sebuah lelucon pahit tentang hilangnya independensi.

Lebih parah, terkuak dugaan kooptasi lokal di mana aktivis serikat pekerja justru menjadi pengusaha outsourcing yang mengeksploitasi buruh, bekerja sama dengan pengawas daerah.

Menghadapi kehancuran ini, para buruh tidak menyerah. Mereka mendesak agar RUU Ketenagakerjaan yang kini diprioritaskan DPR harus menjadi “Undang-Undang Ketenagakerjaan Baru” dengan substansi yang revolusioner.


Baca juga: 8 Pernyataan Sikap BaraJP: Hentikan Narasi Adu Domba Prabowo dan Jokowi!

Pertama, menjamin kompensasi PHK yaitu mewajibkan perusahaan mencadangkan dana pesangon (sesuai PSAK 24) melalui iuran ke BPJS Ketenagakerjaan.

Ini untuk mengakhiri drama “lari maraton” di pengadilan dan memastikan uang pesangon sudah tersedia saat PHK.

Kedua, Sentralisasi pengawasan dengan menarik kembali wewenang pengawasan dari Gubernur ke pusat dan membentuk Komite Pengawas Eksternal Tripartit, sebuah “Komisi Yudisial” bagi pengawas, untuk memberantas korupsi dan intervensi politik.


Baca juga: Menteri Fadli Zon Sebut Batak Center Sebagai Penjaga Budaya dan Berharap Adanya Museum Batak 

Ketiga, mengakui pekerja digital yakni mengubah definisi hubungan kerja agar Pekerja Platform Digital (Ojol) dan pekerja gig economy lainnya diakui dan dilindungi.

Keempat, Upah dan PHK yaitu Upah minimum harus didasarkan pada Kebutuhan Hidup Layak (KHL), dan ketentuan PHK harus dipersulit.

Felix Silitonga menutup lokakarya dengan menekankan satu syarat mutlak yaitu RUU baru harus lahir dari partisipasi bermakna dari buruh dan berpegang teguh pada semangat ketegasan peran negara dalam menjamin hak-hak asasi pekerja.

“Tanpa perombakan struktural dan politik yang radikal, undang-undang baru hanya akan menjadi kertas kosong di tengah dominasi modal yang tak terkendali,” tandasnya.(Victor)

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*