
IndonesiaVoice.com – Suasana hangat menyeruak saat secangkir kopi mengepul di tangan Willem Frans Anasanay, Ketua Umum Barisan Relawan Jalan Perubahan (Bara JP).
Di sela-sela hiruk pikuk tudingan ijazah palsu Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang kini sudah naik ke tahap penyidikan oleh Polda Metro Jaya, Willem memilih sikap tenang tapi tegas.
“Biar santai dulu ya, ngopi dulu,” katanya sembari menyampaikan pandangannya.
Bagi Willem, polemik ini bukan sekadar soal dokumen akademik. Ia melihat ada sesuatu yang lebih dalam—framing sistematis, politisasi tanpa etika, dan permainan narasi dari kelompok yang, menurutnya, “tidak senang” dengan keberadaan Jokowi sebagai pemimpin bangsa.
“Kenapa Baru Sekarang?”
Dengan nada prihatin, Willem mempertanyakan motif di balik kegaduhan ini.
“Kenapa ijazah Jokowi tidak pernah dipersoalkan saat beliau mencalonkan diri sebagai Wali Kota, Gubernur, bahkan Presiden dua periode? Kenapa baru sekarang, menjelang akhir masa jabatan, tiba-tiba jadi isu nasional?” katanya.
Bagi Willem, ini bukan semata soal keabsahan dokumen.
“Kalau ada yang mau tanya keaslian ijazah, ya tanya saja ke Universitas Gadjah Mada,” tegasnya.
Willem menilai bahwa tuduhan ini tidak lebih dari upaya merusak nama baik Presiden ke-7 RI yang sudah berbuat banyak untuk negeri.
“Ini bukan soal gelar, tapi tentang kemampuan membangun bangsa. Apa kita lupa berapa banyak infrastruktur yang dibangun di era Jokowi?” ujarnya sambil menyebutkan konektivitas jalan dan kapal antar pulau di Papua yang semakin mempermudah akses dan distribusi logistik.
Baca juga: Willem Frans Ansanay, Nakhoda Baru Bara JP: Menjaga Jejak Jokowi, Mengawal Visi Prabowo-Gibran
“Efek Jera Itu Perlu”
Merespons wacana kriminalisasi terhadap mereka yang melontarkan tudingan ijazah palsu, Willem tidak melihatnya sebagai balas dendam, tapi sebagai konsekuensi hukum.
“Jangan bilang mereka dikriminalisasi. Mereka ini yang terus membuat framing negatif. Kalau sekarang dilaporkan dengan UU ITE atau pasal fitnah, ya itu efek jera. Berani berbuat, berani bertanggung jawab,” tandasnya.
Ia juga mengkritik para pengamat politik yang menanggapi kasus ini secara spekulatif.
“Pengamat juga harus tahu batas. Jangan asal bicara seolah tahu isi batin Pak Jokowi. Ini bukan soal suka atau tidak suka, tapi soal etika berdemokrasi dan rasa hormat pada pemimpin.”
Baca juga: Dr John Palinggi: Polri di Usia 79, Dekat dengan Masyarakat, Modern, dan Penuh Integritas
“Kita Bangga, Jangan Cacatkan Warisan”
Willem menutup perbincangan dengan napas sejarah. Ia menyebut deretan presiden Indonesia dari Soekarno, Soeharto, Habibie, Megawati, SBY hingga Jokowi sebagai tokoh yang telah memberikan warna pada perjalanan bangsa.
“Semua pemimpin itu berjasa. Mari kita bangga, jangan malah cari-cari kesalahan. Kalau ada yang salah secara hukum, ya hadapi. Tapi jangan rusak warisan pemimpin hanya karena ambisi politik kelompok tertentu,” katanya.
Lalu ia tersenyum dan menyeruput kopinya.
“Saya lanjut ngopi dulu ya. Karena buat saya, keberanian itu bukan cuma berteriak, tapi juga berani bertanggung jawab,” pungkasnya.
(Victor)
Be the first to comment