Anak SD Tewas Akibat Intoleransi, Alarm Merah untuk Penegakan Pancasila di Sekolah

anak sd tewas karena intoleransi
SETARA Institute: Anak SD Tewas Akibat Intoleransi, Alarm Merah untuk Penegakan Pancasila di Sekolah

IndonesiaVoice.com – Momentum Hari Kelahiran Pancasila 2025 menjadi pengingat akan kondisi inklusi dan toleransi di Indonesia yang kian regresif, khususnya di lingkungan pendidikan.

SETARA Institute menyoroti tren mengkhawatirkan di mana sekolah, seharusnya menjadi benteng nilai-nilai Pancasila, justru menjadi lahan subur bagi intoleransi dan eksklusivitas.

Lonjakan Insiden Intoleransi di Sekolah: Data 2024 dan 2025

Data yang dikumpulkan SETARA Institute menunjukkan serangkaian pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan (KBB) yang terjadi di lingkungan pendidikan.

Pada tahun 2024, beberapa insiden tercatat, antara lain:

  • Penolakan pembangunan pondok pesantren di Jayapura.
  • Pelarangan bercadar oleh pihak SMP terhadap siswinya di Palembang.
  • Penolakan pendirian sekolah Kristen di Pare-Pare.
  • Pembatasan penggunaan jilbab anggota Paskibraka 2024 oleh BPIP.
  • Penolakan kurikulum pendidikan sekolah teologi di Nias.

Kasus terbaru yang sangat memprihatinkan, dan terjadi beberapa hari lalu, adalah tewasnya seorang pelajar SD akibat perundungan berbasis perbedaan agama.

Kasus ini menjadi contoh nyata dampak fatal dari perilaku intoleransi yang dibiarkan berlarut.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga menegaskan adanya peningkatan kekerasan berbasis intoleransi di lingkungan sekolah.

Survei 2023: Tingkat Intoleransi Remaja Mengkhawatirkan

Studi SETARA Institute pada tahun 2023 di lima kota terpilih mengungkapkan data yang mencemaskan terkait intoleransi di kalangan pelajar SMA/sederajat. Hasil survei menunjukkan bahwa:

  • 24,2% pelajar dikategorikan intoleran pasif.
  • 5,0% pelajar dikategorikan intoleran aktif.
  • 0,6% pelajar terpapar ideologi ekstremisme kekerasan.

Lebih lanjut, 83,3% responden survei tersebut bahkan menyatakan bahwa Pancasila bukan sebagai ideologi yang permanen dan bisa diganti.

Data ini, jika dikaitkan dengan fakta pelanggaran KBB di tahun 2024 dan 2025, mengindikasikan rapuhnya ketahanan generasi muda terhadap “virus intoleransi” yang menyebar di sektor pendidikan.

Abainya Negara dan Pelembagaan Intoleransi

SETARA Institute mengkritik keras sikap negara yang dinilai abai dan bergeming saat intoleransi terjadi (disebut sebagai violation by omission).

Meskipun setiap satuan pendidikan memiliki Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) untuk mengatasi berbagai jenis kekerasan, termasuk yang berbasis agama/keyakinan, kinerja TPPK dianggap tidak pernah dipantau dan dievaluasi secara serius, menjadikannya “ornamen anti kekerasan belaka.”

Padahal, negara memiliki kewajiban untuk melindungi anak-anak sebagai kelompok rentan dan minoritas agama, sebagaimana diamanatkan Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 dan Konvensi Hak Anak (CRC).

Ironisnya, SETARA Institute juga mencatat bahwa tidak jarang negara justru menjadi pelaku pelanggaran (disebut sebagai violation by commission) atau melembagakan intoleransi melalui kebijakan (disebut sebagai violation by rule).

Komnas Perempuan menemukan 305 peraturan diskriminatif yang menyasar perempuan, termasuk perempuan minoritas agama/kepercayaan.

Sementara itu, SETARA sendiri mencatat setidaknya 71 produk hukum diskriminatif di Indonesia yang secara spesifik membatasi kelompok minoritas agama tertentu, menjadikan kebijakan intoleran sebagai sesuatu yang banal dan dinormalisasi.

Rekomendasi SETARA Institute

Menyikapi situasi intoleransi yang kian mengkhawatirkan, SETARA Institute menyampaikan beberapa desakan:

  • Kecaman Keras: SETARA mengecam keras berbagai peristiwa intoleransi di lingkungan pendidikan. Sekolah harus steril dari “virus intoleransi” dan kondusif untuk pembentukan karakter bangsa yang menginternalisasi nilai-nilai kemanusiaan Pancasila (Sila ke-2).
  • Seriusi Pembumian Pancasila: Pemerintah diminta untuk lebih serius dalam pembumian dan aktualisasi nilai-nilai Pancasila, tidak hanya berhenti pada level kurikulum atau seremoni. Pancasila harus menjadi working ideology yang menginternalisasi semangat, pemikiran, dan sikap generasi muda. Momentum Hari Lahir Pancasila harus menjadi titik balik untuk membangun komitmen bersama dalam berbagai sektor demi terciptanya ruang yang lebih inklusif.
  • Hentikan Pelembagaan Intoleransi: SETARA mengecam pelembagaan intoleransi melalui kebijakan negara. Kebijakan diskriminatif adalah bentuk pelanggaran terhadap prinsip dasar kebebasan beragama/berkeyakinan (KBB) sebagai negative rights yang menuntut negara untuk tidak melakukan intervensi berlebihan.
  • Tindakan Tegas Kementerian/Lembaga Terkait: SETARA mendesak Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah untuk mengevaluasi dan memantau kinerja TPPK. Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah bersama Kementerian Tinggi, Sains, dan Teknologi, serta Kementerian Agama diminta membentuk instrumen pembinaan yang efektif bagi guru agama dan guru Pendidikan Kewarganegaraan, serta meningkatkan pembudayaan wawasan kebangsaan dan mainstreaming toleransi di sekolah dan perguruan tinggi.


Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) harus mengevaluasi kebijakan dan program yang diskriminatif, dan Komnas HAM diminta melakukan pengawasan komprehensif terhadap praktik diskriminasi dan intoleransi di lembaga pendidikan.

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*