IndonesiaVoice.com|| Menyambut peringatan Hari Kemerdekaan RI ke-76, Dewan Pimpinan Pusat Persatuan Inteligensia Kristen Indonesia (DPP PIKI) menggelar webinar kedua seri kajian nasional untuk mengembangkan pembahasan publik mengenai teologi yang ramah lingkungan (eko-teologi), Minggu (8/8/2021).
Dalam rilisnya, Minggu (8/8/2021) dijelaskan webinar ini diadakan sebagai respons krisis ekologi yang berakibat penurunan mutu lingkungan hidup, yang menurunkan daya tahan manusia menghadapi pandemi COVID-19. Perspektif pemerintah, pegiat lingkungan hidup, pegiat hak adat, dan agama menjadi bagian dari pembahasan.
Kritik kepada lemahnya advokasi gereja terhadap masalah ekologi muncul dalam pembahasan webinar seri kedua yang dibuka oleh Wakil Ketua Umum DPP PIKI Theofransus Litaay, PhD, dan pesan pembukaan yang disampaikan Sekretaris Umum PGI (Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia) Pendeta Jacklevyn Manuputty.
Baca juga: Ini Langkah Gerak Cepat Tanggap Darurat Kesehatan Diusulkan PIKI Terkait Lonjakan Kasus Covid-19
Manuputty menyampaikan, “Gereja-gereja di Indonesia perlu memperjuangkan pihak-pihak yang termarginalkan oleh korporasi besar yang mengganggu keseimbangan ekosistem”.
Sementara Pendeta Dr Margie Ririhena de- Wanna, Ketua Bidang Teologi dan Oikumene DPP PIKI, mengutarakan, “Gereja seharusnya memainkan teologi lingkungan yang mendalam (deep eco-theology) yang berpusat kepada ekosistem alam dibandingkan teologi yang dangkal (shallow eco-theology) yang hanya berpusat kepada manusia”.
Webinar tentang krisis ekologi ini, antara lain, melihat perlunya menghidupi keseimbangan teologi dengan kearifan lokal dalam rangka penyelamatan lingkungan hidup.
Baca juga: Gelar Rakernas III, PIKI: Intoleransi Alami Peningkatan
Selanjutnya ditemukan bahwa di tengah persoalan deforestasi dan konflik hutan adat, sudah seharusnya gereja-gereja memberikan layanan advokasi kepada warga jemaat dan menolong perlindungan hukum dan menjembatani mereka dengan pemerintah.
Diskusi PIKI ini memberi pesan agar gereja memberikan pendampingan dan membuka ruang untuk mendengar jeritan masyarakat atas eksploitasi alam (hutan adat) mereka, untuk mendapat perhatian dan penanganan dari pihak-pihak terkait.
Masalah kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi di wilayah Indonesia seringkali berhadapan dengan persoalan ekologi, karena itu dibutuhkan pengembangan teologi publik yang komprehensif dengan tidak berat sebelah antara persoalan ekonomi dan lingkungan.
Baca juga: Dating Palembangan Apresiasi Penuh Gerakan Lagu “Indonesia Raya”
Webinar ini juga menyajikan sharing pengalaman advokasi lingkungan hidup di empat provinsi di Indonesia yaitu Maluku, Bali, Sumatera Utara, dan Sulawesi Utara.
Kasus Save-Aru di Maluku yang disampaikan oleh Weldemina Yudit Tiwery, DTh, MHum, terkait dengan konflik rencana pembukaan perkebunan tebu di kepulauan Aru menjadi contoh baik sinergi masyarakat, organisasi sosial keagamaan, yang kemudian direspons oleh pemerintah.
Ancaman krisis daya dukung lingkungan di Bali sebagai salah satu pusat pariwisata dunia disampaikan oleh Pendeta Victorius A Hamel, STh, MTh, perlu mendapat perhatian dari para pengambil kebijakan, khususnya perencana pembangunan di Bali maupun pada level nasional.
Baca juga: Makna Pahlawan Masa Kini
Pemerintah pusat diketahui memberi perhatian terhadap ketegangan sosial yang terjadi di sekitar wilayah Danau Toba di Sumatera Utara dan bermaksud memulihkan hak-hak masyarakat adat di wilayah tersebut.
Konflik ini disebabkan oleh lemahnya perlindungan hak adat sebagaimana dijelaskan oleh Masro Delima Silalahi, MA, Direktur Program Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat/KSPPM. Ini memberikan gambaran bahwa keseimbangan antara agenda ekonomi dan ekologi perlu selalu dicari dan ditemukan dalam rangka pembangunan yang berkelanjutan.
Kajian lainnya dari PIKI menunjukkan perlunya perhatian pemerintah kepada persoalan pembukaan tambang di Pulau Sangihe, yang menimbulkan keberatan dari berbagai unsur masyarakat dan gereja setempat karena adanya proses perizinan yang tidak sesuai dengan regulasi.
Cara pandang masyarakat mengalami keretakan dalam memandang kehadiran investor pertambangan di pulau yang sangat kecil ini.
Elia Maggang, MTh, Mahasiswa Program Doktor di Universitas Manchester-Inggris ini memaparkan, “Sebagai Negara Kepulauan, Indonesia perlu memberikan perhatian yang seimbang kepada ekologi kelautan dan daratan.”
Seri kedua webinar ini dimoderatori oleh Pendeta Ronald Helweldery dari GPI Papua.
Baca juga: NORMAL BARU ERA COVID-19, PIKI DORONG PENGAJARAN ALTERNATIF
Acara ini sebelumnya dibuka oleh Ketua Umum DPP PIKI Dr Badikenita Putri Sitepu, SE, MSi, pada seri kajian pertama, Minggu (1/8/2021). Badikenita mengemukakan, “Keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan merupakan tiga hal yang saling berkaitan yang menjadi perhatian PIKI dan akan konsisten menyuarakan kepada Pemerintah untuk tercapai masyarakat berkeadilan yang sejahtera.”
Sementara Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Alue Dohong, pada Minggu (1/8/21) mengingatkan pola konsumsi yang konsumtif mempengaruhi pengelolaan pembangunan yang tidak berkelanjutan.
“Kita perlu memperkuat kesadaran dan sikap peduli terhadap lingkungan hidup, sehingga kelemahan regulasi dapat diatasi melalui sikap masyarakat yang benar,” urainya.
Baca juga: dr Reisa: Kurangi Bepergian Keluar Rumah, Varian Delta Lebih Cepat Menulari Hingga 8 Orang
Alue menjelaskan pemerintah telah melakukan berbagai kebijakan korektif. “Kebijakan korektif yang dilakukan antara lain moratorium hutan primer dan gambut, pemulihan ekosistem gambut dan mangrove, penanganan kebakaran hutan dan lahan, kebijakan perhutanan sosial, dan kebijakan terkait perubahan iklim,” kata dia.
Alue Dohong menutup bahwa pandangan antroposentris yang berisi dominasi manusia terhadap lingkungan perlu dirubah.(*)
Be the first to comment