IndonesiaVoice.com– Majelis Hakim Pengadilan Tinggi (PT) Makassar menolak banding terdakwa Profesor DR Marthen Napang, SH, MH, sehingga Guru Besar Bidang Ilmu Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (Unhas) ini tetap dihukum enam bulan penjara sesuai vonis Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Makassar sebelumnya.
Amar Putusan PT Makassar Nomor 451/PID/2024/PT MKS, tertanggal 30 April 2024, dibacakan oleh tiga hakim yaitu Pudji Tri Rahadi, SH (ketua), Hongkun Otoh, SH, MH (anggota) dan Siswatmono Radiantoro, SH (anggota).
“Ya, sudah terbit Putusan Pengadilan Tinggi Makassar Nomor 451/PID/2024/PT MKS, tanggal 30 April 2024 dimana permohonan banding terdakwa Prof DR Marthen Napang ditolak. Putusan ini sudah dapat diakses dan dibaca di Direktori Mahkamah Agung secara online,” jelas Muhammad Iqbal, SH, selaku Kuasa Hukum DR John Palinggi, ketika diwawancarai di Jakarta, Kamis (16/5/2024).
“Keluarnya Putusan PT Makassar Nomor 451/PID/2024/PT MKS ini berarti menguatkan Putusan PN Makassar Nomor 1069/Pid.B/2023/PN Mks, tanggal 7 Februari 2024. Dengan demikian berkas perkara dilimpahkan kembali ke PN Makassar,” tambahnya.
Iqbal melanjutkan, salah satu pertimbangan Majelis Hakim PT Makassar menyatakan bahwa apa yang dipertimbangkan oleh Majelis Hakim PN Makassar sudah tepat dan benar.
“Itu berarti tidak ada satupun kesalahan yang tidak didasarkan pada fakta-fakta. Semua didasarkan pada fakta-fakta dan bukti-bukti yang terungkap di persidangan, sehingga upaya hukum banding yang diajukan terdakwa Profesor Marthen Napang ditolak oleh Majelis Hakim PT Makassar,” tegas dia.
Hingga kini, Iqbal mengatakan, dirinya masih menunggu apakah terdakwa Profesor Marthen Napang, yang juga Ketua BP Yayasan Sekolah Tinggi Theologia INTIM Makassar ini, akan mengajukan kasasi atau tidak.
“Kalau Profesor Marthen Napang tidak melakukan upaya kasasi maka putusan PN Makassar akan berkekuatan hukum tetap yang telah menetapkan 6 bulan vonis penjara. Maka jaksa harus melakukan eksekusi untuk menjemput terdakwa. Bila dia beritikad baik sebagai terdakwa, mestinya dia menyerahkan diri ke jaksa sebagai pelaksana eksekusi,” pungkasnya.
Putusan PN Makassar
Diberitakan sebelumnya, PN Makassar memutuskan hukuman penjara 6 bulan kepada Guru Besar Bidang Ilmu Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (Unhas), Prof Dr. Marthen Napang., SH., MH., lantaran diduga membuat laporan palsu dan telah mengakibatkan pelapor Dr. John N. Palinggi, menjadi tersangka selama 17 bulan.
Hukuman ini terbilang lebih rendah dari hukuman maksimal, sesuai Pasal 220 ayat (4) KUHP yakni, 1 tahun 4 bulan maupun tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) yaitu, 1 tahun 2 bulan.
Dalam amar putusan pada perkara pidana Nomor 1069/Pid.B/2023/PN. Mks, yang dibacakan tiga hakim yakni, Eddy, SH (Ketua) dan Ir. Abdul Rahman Karim, SH., serta Alexander Jakob Tetelepta, SH., MH., (anggota) dikatakan, Marthen Napang terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana memberitahukan atau mengadukan bahwa telah dilakukan suatu perbuatan pidana, padahal mengetahui bahwa itu tidak dilakukan sebagaimana dakwaan A alternatif pertama penuntut umum.
“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama enam bulan,” kata Eddy pada sidang putusan di PN Makassar, Rabu (7/2/2024).
Dugaan Pemalsuan
Kasus yang berujung vonis penjara bagi Marthen Napang ini diawali dengan temuan dugaan tindak pidana penipuan, penggelapan, dan pemalsuan surat putusan Mahkamah Agung yang ia lakukan terhadap perkara A. Setiawan, orangtua angkat John Palinggi (pelapor).
Sepanjang mengurus perkara A. Setiawan, kata Iqbal, John Palinggi menderita kerugian hingga Rp 950 juta. Dirinya terkejut ketika putusan MA yang diurus Marthen Napang dinyatakan diduga palsu.
Sejak ketahuan putusan tersebut diduga palsu, ponsel Marthen mendadak tak bisa dihubungi. Pun e-mailnya tak berfungsi lagi.
“Pelapor pun berinisiatif menyurati pihak Unhas mempertanyakan keberadaan Marthen Napang,” beber Iqbal.
Namun, oleh Marthen Napang, surat tersebut dianggap sebagai pencemaran nama baiknya. Lantas, dia melaporkan John Palinggi ke Polrestabes Makassar dengan tuduhan pencemaran nama baik. Akibatnya, John dijadikan sebagai tersangka selama 17 bulan.
Dikatakannya, dari gelar perkara ternyata tidak ditemukan kesalahan yang dilakukan John Palinggi. Akhirnya, kasus tersebut di SP3. Merasa tak puas, Marthen mempraperadilankan aparat kepolisian, namun ditolak oleh PN Makassar.
Merasa tak puas, Marthen kembali melaporkan John untuk kasus yang sama. Namun Polda Sulsel menghentikan kasus tersebut setelah gelar perkara. Segala cara dilakukan Marthen, termasuk menggugat perdata Reskrim Polda Sulsel miliaran di PN Makassar. Gugatannya ditolak. Pun saat banding, Pengadilan Tinggi Makassar kembali menolak gugatan Marthen.
Berbalik, John pun melaporkan Marthen dengan tuduhan dugaan membuat laporan palsu. Hal ini dilakukan untuk meyakinkan semua pihak bahwa tindakan Marthen mempidanakan John salah. Hingga akhirnya PN Makassar memvonis Marthen kurungan penjara 6 bulan.
Kabarnya, selain sebagai Guru Besar di Unhas, Marthen juga sebagai Ketua Badan Pengurus Yayasan Sekolah Tinggi Teologia Indonesia Indonesia Timur (STT Intim) Makassar, seperti yang tercantum dalam laman STT INTIM Makassar. Sementara, tercatat juga Ketua Badan Pembina STT INTIM, Pdt Dr Alfred Anggui yang juga Ketua Umum Gereja Kristen Toraja (GKT).
Tak hanya itu, gelar Profesor yang disandang Marthen Napang pun patut diduga telah ia gunakan jauh sebelum dirinya ditetapkan sebagai Guru Besar Unhas, pada 2019 lalu.
“Patut diduga, Marthen melakukan pemalsuan gelar, entah demi tujuan apa,” beber Iqbal.
“Kita semua prihatin ya, apalagi STT Intim di Makassar itu dikenal sebagai penghasil pendeta atau rohaniawan. Sekolah Pendeta mestinya clear dan clean dan tidak dikotori oleh oknum yang patut diduga sebelumnya memakai gelar palsu,” tukasnya.
Lebih jauh Iqbal mengatakan, selain perkara di PN Makassar, saat ini tengah masuk pada penyidikan perkara dugaan pemalsuan putusan MA di Polda Metro Jaya (PMJ).
“Di PMJ, John Palinggi telah melaporkan Marthen Napang tentang dugaan Penipuan (Pasal 378 KUHP), Sub Penggelapan (Pasal 372 KUHP), Sub Pemalsuan Surat (Pasal 263 KUHP) dengan ancaman lima tahun penjara. Dalam waktu dekat akan dilakukan gelar perkara,” tandasnya. (*)
Be the first to comment