IndonesiaVoice.com || Perhimpunan Masyarakat Toraja Indonesia (PMTI) menggelar nonton bareng (nobar) Film “Walking Dead Tomate” yang tayang perdana pada 14 April 2022 di seluruh bioskop Cinema XXI Indonesia.
Film “Walking Dead Tomate” ini mengangkat cerita budaya suku Toraja di Sulawesi Selatan (Sulsel) yaitu tradisi Ma’nene atau pembersihan jenazah leluhur.
Film yang disutradarai oleh Ekadi Katili ini dikemas dalam genre horor dan drama. Cerita dalam film diambil dari kisah nyata fenomena kejahatan adat yang dilakukan sekelompok orang.
Film ini sengaja diangkat untuk memberikan gambaran kepada masyarakat luas terkait adat dan kebudayaan suku Toraja. Namun disisi lain juga disampaikan bagaimana cara menghormati kebudayaan masyarakat.
Walking dead atau mayat berjalan memang merupakan salah satu tradisi masyarakat suku Toraja yang cukup terkenal. Kemudian tomate merupakan bahasa Toraja yang artinya orang mati.
Fenomena pencurian benda-benda dan mayat di Toraja masih sering terjadi. Bahkan ada yang sampai menjualnya ke luar negeri. Akhirnya berdasarkan cerita rakyat, pelaku dihantui oleh pemilik benda tersebut.
Proses syuting film berdurasi 80 menit ini 99% dilakukan di Toraja. Sementara sisanya diberi pengantar di Kota Makassar sebagai pembuka cerita dalam Film “Walking Dead Tomate”.
Film yang diproduksi pada 2018, sempat mendapat jadwal tayang pada 16 April 2020, namun batal karena pandemi COVID-19. Akhirnya, dijadwalkan ulang lagi pada tanggal 14 April 2022.
Film “Walking Dead Tomate” ini dibintangi Iqbal Perdana, Yulinar Arief, Aga Dirgantara, Debby Astuti, dan Zulkifli Gani Ottoh. Kemudian ada juga Etal, M Amas, Frans Pangsomma, dan Yusran.
Ritual Suku Toraja
Usai nobar, Ketua Umum Pengurus Pusat Perhimpunan Masyarakat Toraja Indonesia (PP PMTI), Mayjen TNI (Purn) Yulius Selvanus Lumbaa memaparkan melalui film ini tergambar, walaupun hanya di ujung sedikit, berkaitan ritual mayat berjalan (Walking Dead Tomate) yang merupakan salah satu kekayaan Budaya Toraja yang masih terus terpelihara.
“Pun, di Toraja ada kegiatan ritual kematian yang disebut Rambu Solo, tradisi warisan nenek moyang yang sampai saat ini terpelihara,” kata Mayjen TNI (Purn) Yulius Selvanus Lumbaa yang didampingi oleh Sekretaris Umum PMTI Dating Palembangan SE Ak, MM, usai nobar di Bioskop Cinema XXI Metropole, Menteng, Jakarta, Kamis malam (14/4/2022).
Baca juga: Makna Pahlawan Masa Kini
Rambu Solo adalah sebuah upacara pemakaman secara adat yang mewajibkan keluarga almarhum membuat sebuah pesta sebagai tanda penghormatan terakhir pada mendiang yang telah pergi.
“Melalui ritual ini, Orang Toraja meyakini arwah yang meninggal lebih cepat sampai ke tujuan,” jelasnya.
Ritual lainnya, papar Yulius, bernama Ma’nene yakni ritual tahunan (setiap bulan Agustus) di Tana Toraja dimana jenazah leluhur keluarga Toraja akan dibersihkan, digantikan baju dan kainnya.
“Biasanya ada ditinggalkan benda-benda berharga seperti perhiasan seperti dalam film itu tadi. Dan benda-benda berharga tersebut tidak boleh diambil atau dicuri. Karena akan berdampak berbahaya bagi si pencuri seperti dalam adegan film tersebut,” beber dia.
Baca juga: Dating Palembangan Apresiasi Penuh Gerakan Lagu “Indonesia Raya”
Menurut Yulius, pesan yang ingin disampaikan dalam film ini, walaupun sedikit menakutkan (horor), lebih kepada bagaimana masyarakat Toraja menjaga warisan budaya nenek moyang agar jangan sampai tercuri.
“Coba kalau semua warisan budaya Toraja itu hilang, bagaimana kita bisa mengenal Toraja yang berasal dari nenek moyang kita di masa lalu. Sebab itu kita harus menjaga bersama warisan budaya kita. Siapa lagi yang jaga warisan budaya itu kalau bukan kita,” tegasnya.
Pencurian Perhiasan Leluhur
Yulius membeberkan acapkali memang terjadi pencurian perhiasan peninggalan warisan leluhur bernilai tinggi di Tana Toraja. Bahkan, pelakunya adalah wisatawan asing yang membawanya ke luar negeri untuk dijadikan koleksi.
“Kalau pencurian semacam ini dibiarkan maka warisan budaya nenek leluhur kita bakal habis dan punah. Seperti Dinasti Ming di China, banyak warisan budaya leluhur mereka dibawa keluar negeri. Akhirnya dikumpulkan lagi dari seluruh penjuru dunia dengan harus membayar harga yang mahal,” urai dia.
Setelah film ini, menurut Yulius, PMTI juga akan mengangkat Film tentang Pahlawan Nasional Pongtiku dari Tana Toraja.
“Juga, kita akan mengangkat kisah sosok pahlawan, namun belum diakui secara nasional, yaitu Brigadir Jenderal (Brigjen) Mesach Frans Karangan, seorang Jenderal TNI Pertama asal Toraja,” tuturnya.
“Kita akan buat skenarionya mulai dari masa perjuangan merebut kemerdekaan sampai saat ini perjuangannya diteruskan oleh saya hingga menjadi jenderal. Rencananya kita akan melibatkan Alenia Pictures, rumah produksi yang didirikan Ari Sihasale dan Nia Zulkarnaen. Kita akan kolaborasi membuat cerita yang heroik yang memancing anak-anak muda untuk ikut bela negara,” pungkas Yulius.
Baca juga: Milenial Toraja Gelar Diskusi Bedah Programme for International Student Assessment
Sementara aktor Iqbal Perdana yang berperan utama sebagai Dewa yang ikut nobar bersama Ketum PP PMTI, merasa mendapatkan kehormatan tersendiri terlibat dalam pembuatan Film “Walking Dead Tomate”. Apalagi dirinya berasal dari Bandung.
“Film ini mengajak masyarakat, terutama kaum muda, untuk bersama-sama menjaga budaya daerah masing-masing. Diharapkan melalui film (dengan subtitle bahasa Inggris) ini semakin banyak menarik para wisatawan asing, dan juga pelestarian budaya Toraja,” tandasnya.
(Victor)
Be the first to comment