Simbiosis Mutualisme ala Kementerian HAM, Strategi Hindari Penutupan PT TPL di Tengah Desakan Keras Publik

"Tidak mungkin negara itu merugikan karyawan. Tidak mungkin negara menelantarkan karyawan. Tidak mungkin negara ikut menambah pengangguran."

kementerian ham soal TPL
Kementerian HAM membentuk Tim Khusus usut sengketa lahan TPL di Sumatera Utara. Natalius Pigai janji keadilan diukur dari masyarakat terlemah. Simak tiga masalah krusial yang harus dipecahkan Tim Khusus!

Jakarta, IndonesiaVoice.com – Kementerian Hak Asasi Manusia (HAM) Republik Indonesia berada di bawah sorotan tajam setelah Menteri HAM Natalius Pigai secara implisit menolak opsi ekstrem, seperti pembekuan atau penutupan izin usaha PT Toba Pulp Lestari (TPL), meskipun desakan dari berbagai elemen masyarakat —termasuk Batak Center—semakin menguat.

Dalam konferensi pers pada Selasa, 2 Desember 2025, di Lobby Kementerian HAM, Natalius Pigai menegaskan fokus utama pemerintah adalah mencari “solusi terbaik” untuk meniadakan “sumbatan-sumbatan” atau bottleneck ketidakadilan, bukan menambah masalah sosial baru.

Dilema Negara 

Menanggapi pertanyaan wartawan mengenai kemungkinan pencabutan izin dan nasib karyawan TPL, Menteri Pigai memilih untuk mengedepankan prinsip stabilitas dan keberlanjutan. 


Baca juga: Janji Keadilan atau Ilusi? Menguji Nyali Kementerian HAM di Konflik TPL Ditengah Data Amburadul, Rakyat Terpinggirkan 

Ia menggambarkan hubungan antara perusahaan dan pekerja sebagai simbiosis mutualisme.

“Tidak mungkin negara itu merugikan karyawan. Tidak mungkin negara menelantarkan karyawan. Tidak mungkin negara ikut menambah pengangguran,” jelas Menteri Pigai dalam konferensi pers.

Pernyataan ini secara kritis menggeser fokus dari dugaan pelanggaran HAM dan konflik agraria selama bertahun-tahun ke isu stabilitas ketenagakerjaan. 

Ini mengindikasikan kepentingan ekonomi dan kekhawatiran menciptakan pengangguran besar-besaran (teori borjuasi dan proletar yang disebut Pigai) menjadi pertimbangan berat yang menahan pemerintah untuk mengambil sanksi terberat.


Baca juga: Ultimatum BATAK CENTER: Pemerintah Diminta Bekukan Izin PT TPL Jika Terbukti Abai 

Standar Sanksi Internasional vs Solusi ‘Titik Lemah’

Meskipun TPL diduga telah menimbulkan ketidakadilan dan masalah tapal batas/luas lahan, Menteri Pigai menekankan penentuan sanksi berat (diskors atau ditutup) memiliki “ukuran-ukuran” dan “Standar internasional”. Namun, ia tidak merinci indikator apa yang telah dilanggar TPL sesuai standar tersebut.

Alih-alih penutupan, Kementerian HAM mencari solusi komprehensif yang mensyaratkan TPL untuk melakukan perubahan wajib:

  • Kelestarian: Lingkungan tetap terlestari dan ekosistem terlindungi.
  • Budaya: Nilai adat/budaya tetap terjaga dan dilestarikan.
  • Ekonomi: Ekosistem ekonomi masyarakat tetap jalan dan kesejahteraan meningkat.



Baca juga: MPK Ungkap Skenario Suram Pasca Putusan MK: 40% Sekolah Kristen ‘Struggling’ Terjepit Dilema Subsidi Negara 

Komitmen ini, meski terdengar ideal, berisiko menjadi remedial (perbaikan) alih-alih punishment (hukuman) atas pelanggaran di masa lalu. 

Hal ini memunculkan pertanyaan kritis: Apakah ‘solusi terbaik’ yang dicanangkan Kementerian HAM justru menjadi jalan tengah yang terlalu lunak, hanya menambal masalah tanpa menyentuh akar kepemilikan dan hak adat yang telah lama diperjuangkan?

Menteri Pigai meyakinkan hasil temuan (dari pertemuan dengan Komisi 13 DPR, Kehutanan, dan ATR/BPN) akan berproses dalam bulan Desember ini, menjamin bahwa karyawan “sudah pasti amanlah”. 

Publik kini menanti, seberapa jauh perbaikan wajib yang dituntut pemerintah mampu mengembalikan hak dan keadilan masyarakat yang telah bertahun-tahun menjadi pihak terlemah dalam konflik agraria ini.

#TPL #KonflikLahan #KementerianHAM #NataliusPigai #SanksiKorporasi #SimbiosisMutualisme #InvestigasiHAM #ATRBPNSumut

 

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*