Hendardi: Pernyataan ‘Soeharto Guru Korupsi’ Membuka Memori Publik Ada Persoalan Bangsa yang belum selesai

Ketua Setara Institute, Hendardi menyatakan, terkait kasus Ahmad Basarah yang menyebut ‘Soeharto Guru Korupsi’, bukan merupakan pencemaran nama baik, namun justru membuka memori publik bahwa ada persoalan bangsa ini yang belum diselesaikan.

“Dan itu adalah amanat yang perlu diselesaikan (kasus korupsi keluarga Suharto dan kroni-kroninya),” tegas Hendardi dalam Focus Group Discussion bertajuk “Pencemaran Nama Baik vs Menolak Lupa” yang diadakan Fakultas Hukum UKI dengan Perkumpulan Ikatan Keluarga Alumni (IKA) Magister Ilmu Hukum di Lantai 3, Kampus UKI Cawang, Jakarta, Jumat, 14 Desember 2018.

Selain Hendardi, hadir juga sebagai narasumber yaitu Saor Siagian SH MH dan Dr Petrus Irwan Panjaitan SH. Diskusi tersebut dimoderatori oleh Nikson Gans Lalu, SH, MH.


Lebih lanjut Hendardi mengatakan ketika bicara soal delik pencemaran nama baik sesungguhnya tidak bicara di dalam ruang hampa atau dalam konteks yang minimal. Juga, bicara pencemaran nama baik tidak seperti antara artis film atau antar penyanyi dangdut. Tapi bicara delik pencemaran nama baik (terkait penyebutan guru korupsi) ini dalam konteks kasus korupsi Soeharto, keluarga dan kroninya pada masa orde baru yang belum terselesaikan hingga saat ini.

“Kita harus gunakan ini dijadikan momentum untuk mengingatkan memori publik pada hal-hal yang belum selesai dari bangsa ini,” imbuh dia.

Hendardi menambahkan kedudukan terakhir Soeharto adalah sebagai terdakwa kasus korupsi. Statusnya itu sampai dia meninggal.


“Saya perlu ingatkan kembali dimana Kejaksaan Agung pernah mengeluarkan surat penghentian kembali penuntutan perkara terhadap kasus Suharto. Namun kemudian Koalisi Adili Soeharto menggugat pra peradilan sehingga SKP3 itu dicabut. Dan tuntutan itu dilanjutkan dengan tuntutan sebagai terdakwa. Karena itu statusnya (Soeharto) masih terdakwa,” ujar dia.

“Jadi kalau dikatakan (Soeharto) guru korupsi, statusnya dia dalam konteks kasus korupsi,” tambah dia.

Berikutnya, kata Hendardi, ada bukti status terdakwa kasus korupsi terhadap Suharto itu tidak pernah dicabut.

“Sekarang dilakukan penandatanganan Mutual Legal Assignment antara Pemerintah RI dengan Swiss. Belakangan ini diberitakan bahwa pada tahun 1999 diduga terjadi transfer sebesar US $ 9 milyar atau lebih dari Rp. 127 milyar dari Bank Swiss ke sebuah rekening di Bank Austria. Dan itu membuktikan ada parktek-praktek korupsi,” pungkas dia.


Sementara Ketua IKA UKI, Saor Siagian SH, MH, mengutarakan Ahmad Basarah yang melontarkan pernyataan Suharto sebagai guru korupsi, sebetulnya dalam konteks melakukan fungsi dan tanggung jawabnya sebagai Wakil Ketua MPR seperti diamanatkan dalam Tap MPR No. 11 Tahun 1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) dan juga UU.

“Jadi ini bukan pencemaran nama baik. Justru kita diingatkan (adanya kasus korupsi Suharto yang belum diselesaikan),” jelas penggiat anti korupsi ini.

Sedangkan Dosen UKI, Dr Petrus Irwan Panjaitan, memaparkan kasus pencemaran nama baik yang begitu marak saat ini cukup mengkhawatirkan, apalagi dengan hadirnya media sosial. Banyak pihak yang merasa dirugikan pada akhirnya melaporkan terkait pencemaran nama baik tersebut ke jalur hukum (pengadilan).


“Namun yang jadi persoalan adalah apakah orang yang meninggal boleh melapor terkait pencemaran nama baik tersebut,” kata dia.

Dekan Fakultas Hukum UKI, Hulman Panjaitan, SH, MH, mengatakan apa yang dinyatakan Ahmad Basarah terkait ‘Soeharto Guru Korupsi’ harus diuji. Apakah ada dasar pembenarannya sehingga Ahmad Basarah menyampaikan itu.

Dari segi impunitas (tata negara), menurut Hulman, ketika Ahmad Basarah berbicara sebagai kapasitas Wakil Ketua MPR maka sebetulnya dia justru wajib mengatakan hal itu.


“Jadi sesungguhnya tidak ada yang salah (dengan Ahmad Basarah) jika merujuk dari segi Tata Negara,” ujar dia.

Hal lainnya dikatakan Hulman adalah bahwa kasus ini legal standingnya termasuk delik aduan. Dalam kasus ini dilarang untuk melakukan analogi (penafsiran).

“Apakah korban (yang sudah meninggal) boleh melapor, itu merupakan analog. Korban yang sudah meninggal pun tidak boleh merasa dirugikan. Lalu, apakah boleh ahli waris melapor, ini juga merupakan analog sebagai perluasan terhadap siapa yang dirugikan. Sementara dalam kasus ini dilarang melakukan analog. Karena itu, ketika bicara legal standing dengan tuntutan pencemaran nama baik ini sebetulnya tidak ada. Harusnya Bareskrim menolak adanya laporan seperti ini,” imbuh dia.


Ketua IKA FH UKI, Aryanthi Baramuli Putri, SH, MH, menambahkan kasus Ahmad Basarah yang diduga melakukan pencemaran nama baik ini tidak tepat jika diteruskan ke ranah hukum, apalagi Suharto sudah meninggal.

“Pun, sebagai Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah punya hak impunitas,” tandas Anggota DPD Sulawesi Utara ini.   

(Vic)

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan