
IndonesiaVoice.com – Ribuan pengemudi ojek online (ojol), yang tergabung dalam Serikat Pengemudi Online Indonesia (SePOI), Forum Diskusi Transportasi Online dan Yayasan Forum Adil Sejahtera (YFAS), di 14 wilayah Indonesia akan menggelar aksi demo di depan Kementerian Perhubungan (Kemenhub), Jakarta, Selasa (20/5/2025), bertepatan dengan peringatan Hari Kebangkitan Nasional.
Aksi yang bertajuk “Kebangkitan Transportasi Online Indonesia” ini menyuarakan empat tuntutan utama yang dianggap krusial demi keadilan dan kelangsungan hidup para pengemudi transportasi daring.
Tuntutan Utama: Dari Tarif hingga Perlindungan Hukum
Aksi ini diprakarsai oleh Serikat Pengemudi Online Indonesia (SePOI) bersama Forum Diskusi Transportasi Online dan sejumlah komunitas pengemudi lainnya. Mereka menuntut:
- Kenaikan tarif antar penumpang roda dua, yang dinilai stagnan dan tak layak sejak 2022.
- Regulasi pengantaran makanan dan barang, yang hingga kini tidak memiliki dasar hukum jelas.
- Ketentuan tarif bersih untuk kendaraan roda empat, yang transparan dan tidak merugikan pengemudi.
- Pembahasan dan pengesahan Undang-Undang Perlindungan Pengemudi Transportasi Online.
“Ini bukan semata soal angka, tapi soal keberlangsungan hidup. Potongan aplikasi mencapai 30–35% dari penghasilan kami, jauh di atas batas maksimal 20% yang diatur dalam Permenhub,” tegas Felix Silitonga, Direktur Yayasan Forum Adil Sejahtera (YFAS), dalam konferensi pers sehari sebelum aksi.
Fakta dan Data: Ketimpangan yang Terstruktur
Menurut Felix, Peraturan Menteri Perhubungan No. 12 Tahun 2019 dan No. 1001 Tahun 2022 seharusnya menjadi payung hukum perlindungan pengemudi. Namun, implementasinya jauh dari harapan.
Perusahaan aplikasi disebut tidak mematuhi regulasi terkait tarif dan potongan, bahkan melakukan pungutan liar hingga Rp3.000 per order untuk sistem “keanggotaan” tertentu.
Mahmud, Ketua Umum DPP SePOI, menegaskan bahwa selama tiga tahun terakhir, Kemenhub tidak melakukan penyesuaian tarif sebagaimana diwajibkan dalam Permenhub.
“Sejak BBM naik 2022, kami sudah demo dan bahkan aksi jahit mulut, baru tarif disesuaikan sedikit. Tapi setelah itu, Kemenhub bungkam. Tahun 2023 dan 2024, kami surati, tapi tidak pernah ditanggapi,” ungkapnya.
Pengemudi Terjebak di Tengah: Antara Negara dan Korporasi
Lebih dari sekadar tuntutan ekonomi, para pengemudi juga menyoroti ketiadaan mekanisme pengaduan yang adil. Suspend dan pemutusan kemitraan sering terjadi tanpa proses klarifikasi atau pembelaan, hanya berdasarkan laporan sepihak dari pelanggan.
“Ini bukan soal kerja kemitraan. Ini eksploitasi berjubah digital,” ujar Mahmud. Ia menyebut bahwa jaket, helm, hingga papan iklan di punggung motor tidak memberi keuntungan sepeser pun bagi pengemudi.
Demo Nasional: 14 Titik, Satu Suara
Selain di Jakarta, aksi serentak ini juga digelar di 13 titik lain termasuk Surabaya, Bandung, Batam, Kalimantan, Sukabumi, Pandeglang, dan Lampung. Ribuan pengemudi dari berbagai platform seperti Grab, Gojek, Shopee, dan Maxim turun ke jalan membawa harapan akan perubahan nyata.
“Aksi ini bukan hanya simbolik. Ini panggilan hati. Sudah terlalu lama kami diabaikan,” kata Mahmud.
Evaluasi untuk Pemerintah: Siapa Bertanggung Jawab?
Para pengemudi menegaskan, aksi ini bukan ditujukan ke perusahaan aplikasi, tetapi ke Kemenhub sebagai pihak regulator yang dinilai lalai.
“Sudah tiga tahun tidak ada evaluasi tarif. Ini pelanggaran terang-terangan terhadap aturan buatan mereka sendiri,” tegas Felix.
Tak hanya Kemenhub, para pengemudi juga mengkritisi partai politik yang kerap memanfaatkan mereka sebagai massa dukungan tanpa memperjuangkan hak-hak mereka secara konkret.
(Vic)
Be the first to comment